Senin, 19 September 2011

Wacana Jogja berhati nyaman..

Menurut beberapa survey tentang kota yang nyaman untuk dijadikan tempat tinggal, pasti jogja adalah salah satunya. Kota ini terkenal dengan kota pelajar, mungkin adalah kota pelajar terbesar di Indonesia. Banyaknya kampus dan universitas yang ada di sana sangat besar kontribusinya dalam membuat kota ini hidup, jauh lebih besar kontribusinya dibandingkan dengan kesenian dan wisata alamnya.Indikatornya adalah bahwa kota ini ibarat kota mati saat libur kuliah dan lebaran karena sebagian besar penduduknya merupakan mahasiswa perantau.

Mendapatkan cap sebagai kota yang nyaman, tentunya harus diimbangi dengan mudahnya mendapatkan akses tempat tinggal disana. Mudah dalam arti harga beli rumah disana sangat terjangkau bagi warganya. Namun kenyataannya apakah seperti itu?

Saat ini hampir tidak mungkin kita menemukan harga rumah dibawah 100 juta di jogja, untuk type rumah terkecil sekalipun, misalnya 27/72, terutama di wilayah yang ada kampusnya, khususnya sleman. Bahkan saat ini untuk mendapatkan harga 150 juta pun sudah sedemikian susahnya. Yang ada adalah hampir sebagian besar 200 juta ke atas. Harga rumah yang sedemikian mahal apakah diimbangi dengan pendapatan perkapita warganya yang juga meningkat? Jawabannya adalah belum tentu.

 COba kita lihat, untuk hidup di jogja, orang sering bertanya: saya kerja apa di jogja?disana hampir tidak ada industry pabrik? Satau-satunya yang cukup besar adalah PT Sari Husada dengan susu SGM nya. Diluar itu hampir tidak ada. Yang ada adalah sector wisata, jika bekerja di sector ini berapa gaji yang diharapkan? Idealnya untuk mendapatkan rumah di harga 200 juta ke atas, seseorang setidaknya berpenghasilan 6 juta ke atas. Apakah sector wisata memungkinkan? Bagaimana dengan staf pengajar/dosen universitas? Sepertinya juga tdk. sampai, bagaimana dengan pegawai bank atau jasa keuangan lainnya? Sepertinya gaji seperti itu untuk level supervisor ke atas, yang jumlahnyapun juga terbatas dengan masa kerja sekitar 4-5 tahun ke atas.
Beberapa kampus besar ada di sana, banyak dicari rumah kontrakan dan kost-kostan dekat UGM, UIN Sunan Kalijaga, UPN Yogyakarta, dsb. Jika dilihat masih adanya jarak yang cukup jauh antara kebutuhan dan daya beli tersebut, Lantas sebenarnya siapakah market yang diincar para pengembang/developer perumahan tersebut? 

Hal yang mesti kita ingat adalah bahwa kehidupan kota jogja sangat didukung oleh keberadaan mahasiswa yang menuntut ilmu disana. Konon kabarnya untuk dana penyaluran kredit usaha, di jogja masih kalah dibandingkan dengan solo, kota di sekitarnya yang masih kalah besar dibandingkan jogja sendiri yang berstatus daerah istimewa (sekelas propinsi). Mengapa demikian? Kemungkinan karena memang para mahasiswa yang menuntut ilmu di jogja adalah subyek konsumtif, sebagian besar adalah membelanjakan uang, bukan memutar uang untuk bisnis. Nah pelaku bisnisnya siapa?Apakah mereka tidak membutuhkan pembiayaan? Pastinya butuh, namun karena skala mahasiswa butuhnya adalah konsumtif barang-barang retail, maka jadinya adalah bisnis kelas kaki lima yang banyak tumbuh disana, sehingga pembiayaan kreditnya pun juga gak terlalu kelihatan.

Nah pasar mahasiswa yang jumlahnya ribuan inilah yang kemungkinan besar dilirik para pengembang/developer perumahan. Setidaknya ada 3 market yang diincar:
1. Mahasiswanya sendiri, untuk kost-kostan atau kontrakan
2. Orang tua mahasiswa, untuk investasi sekaligus hemat biaya tempat tinggal anaknya yang kuliah
3. Investor yang ingin mengambil untung dengan besarnya jumlah mahasiswa yang kuliah disana dengan model bisnis kost-kostan atau kontrakan.
Hal inilah yang membuat harga rumah di jogja relative tidak murah. Sehingga tidak mengherankan kalau pemilik/pembeli perumahan baru bukanlah orang jogja sendiri, tapi kemungkinan malah banyak orang-orang dari Jakarta, atau bahkan luar jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Zona Inspirasi Kompas TV